Gawat! Surabaya Darurat Pil Koplo dan Seks Bebas


ilustrasi 
SURABAYA - Banyaknya kasus yang melibatkan anak di bawah umur, membuat Gerakan Menyelamatkan Masa Depan Anak (GEMMA) tergerak untuk mengangkat ke permukaan.
Hasilnya, ditemukan sedikitnya 100 kasus anak yang kecanduanpil koplo jenis double-L dan seks bebas.
Koordinator Gemma Esthi Susanti Hudiono menjelaskan, kasus yang kerap menimpa anak di bawah umur berkaca pada pola dinamika sosial. 
"Atas dasar ini, saya berani mengambil tindakan orisionil untuk memulai program baru. Sebab, sampai hari ini saya masih melihat ada ftont terdepan melihat anak-anak yang menjadi korban," katanya.
Melihat adanya fenomena itu, Esthi pun menetapkan policy program yang berfokus pada anak rentan di sekolah dengan indikator yang dibuat berdasarkan studi itu.
Bila dahulu fokus perhatian pada anak yang pernah berhadapan dengan hukum dan putus sekolah dari SMP banyak ditemukan di klub malam dan jalanan.
"Cara ini kami tinggalkan, saya katakan fokus di Setting ini menemukan anak telah mengalami kerusakan parah. Oleh karena itu, fokus kami lebih kepada anak rentan yang mengalami pubertas," jelas Esthi, Selasa (21/6/2016).
Masih kata Esthi, untuk memulai menyelamatkan anak yang telah terjerumus dimulai dari sekolah SMP. Untuk strategi baru, Esthi melatih lebih dari 600 anak selama 3 tahun, dan mendampingi anak kurang lebih 300 orang yang telah menjadi korban.
"Strategi saya ini pada awalnya diterima dengan skeptis dan rasa tidak percaya. Dan ternyata langkah kami tidak salah sama sekali. Justru anak-anak rentan ini telah banyak yang jadi korban," terang dia.
Dari semua anak yang menjadi korban, kebanyakan terkait dalam lingkup narkoba. Tidak hanya itu berawal dari obat tidur, CTM hingga kecanduan Double-L yang lebih murah untuk dikonsumsi. Di sini, hubungan narkoba dengan trafficking sangat nampak.
"Yang membuat saya terkejut adalah telah berkembang budaya perilaku seks baru dengan istilah Tempek Tukar Sabu (TTS). Kalau anak butuh sabu maka ditukar dengan seks. Bayangkan hal ini dilakukan oleh anak SMP. Istilah TTS muncul di mana-mana. Ini berarti telah terjadi proses penerimaan dan pembudayaan," jelasnya.
Untuk menghadapi fenomena itu, Esthi mengaku kebingungan. Sebab, program yang di jalankan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat belum memadai.
"Kami berhasil memecahkan masalah jangka pendek ketika anak ada dalam bahaya namun kami belum berhasil memecahkan masalah jangka panjang anak," terang Esthi.
Ternyata lanjut Esthi, banyak pertemuan dengan beberapa pihak yang memberi data yang sama. Dari data itu, banyak anak yang terjerumus dalam mengkonsumsi Double-L.
"Kami telah mensosialisasikan ke pemerintah kota Surabaya. Dan besok (22/6) kami akan hearing dengan dewan Surabaya," jelas dia.
Terpisah, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan saat ini para orangtua harus lebih mawas diri terhadap anak-anaknya. Sebab bila lengah sedikit anak akan lebih gampang dipengaruhi oleh lingkungan.
"Saat saya bertemu dengan Bu Parti (Kepala BBN Kota Surabaya) beliau bilang kalau banyak anak sekarang terjerumus menjadi kurir narkoba, itu berarti kami para orangtua harus lebih meningkatkan pengawasan," katanya.
Oleh sebab itu, Risma mengimbau kepada orangtua untuk lebih aktif dan agresif terhadap anak-anak. Namun, sikap aktif dan agresif tidak dibarengi dengan sikap menekan kehendak sendiri.
"Semakin anak ditekan, mereka akan semakin berontak. Maka, orangtua harus bisa masuk ke dalam pergaulannya dengan cara menjadi sahabatnya," ujar Risma.