Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia Tak Akan Ganggu Industri


Rachmat Witoelar (Foto: Shohib Masykur/detikcom)

Washington DC - Penanganan isu perubahan iklim di Indonesia diperkirakan tak akan terlalu mengganggu industri dalam negeri. Pasalnya, sumbangan industri Indonesia terhadap emisi gas rumah kaca terbilang kecil. Mayoritas polusi di Indonesia disebabkan oleh pembukaan lahan dan kebakaran hutan.

"Polusi dari industri Industri kalau dipresentasikan hanya sekitar 1-2 persen. Sementara kalau polusi dari lahan mencapai 80 persen karena kebarakan hutan," kata Utusan khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, dalam perbincangan dengan detikcom di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (21/4/2016).

Karena itu, lanjut Rachmat, kunci penanganan perubahan iklim di Indonesia adalah mengurangi kebakaran hutan dan pembukaan lahan. Sementara industri tidak akan terlalu terkena dampaknya karena proporsinya yang kecil.

Hal ini berbeda dengan negara-negara maju dan negara berkembang lain seperti Tiongkok yang porsi terbesar polusinya berasal dari industri. Di negara-negara tersebut, penanganan perubahan iklim harus menyasar industri yang pastinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Sebagai catatan, luas tanah di Indonesia mencapai 200 juta hektar, dan 136 juta hektar di antaranya berupa hutan. Perkebunan kelapa sawit mengambil porsi 5 persen dari total luas tanah di Indonesia. Ekspansi lahan sawit yang agresif merupakan sumber utama  meningkatnya kontribusi Indonesia terhadap emisi gas rumah kaca.

"Jadi kebijakan besarnya adalah kita mengadakan pembatasan kegiatan di lahan dengan moratorium di perkebunan kelapa sawit. Dalam beberapa tahun ke depan diharapkan emisi kita akan turun secara terhormat," kata Rachmat.

Bulan September 2015 lalu, Indonesia mendatarkan komitmennya kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen (tanpa syarat) dan/atau 41 persen (dengan syarat) jika dibandingkan dengan praktik biasa(business as usual). Komitmen itu untuk dicapai tahun 2030.

Menurut Rachmat, dampak perubahan iklim terutama akan dirasakan oleh orang-orang kecil, seperti nelayan dan petani, dalam bentuk naiknya permukaan air laut dan tidak menentunya musim tanam karena perubahan cuaca. Sementara para pemain industri besar tidak akan terkena dampak secara langsung.

"Yang kena dampak tidak terlalu besar ya industri itu. Dampaknya apa? Paling hujan, dan kalau hujan mereka kan di pabrik tidak kehujanan. Kalau petani kan kalau hujan atau banjir mempengaruhi kehidupan mereka. Nelayan bisa mati. Jadi orang kecil yang paling kena dampaknya," kata Rachmat yang pada 19 April lalu menyampaikan pidato di Columbia University mengenai komitmen Indonesia untuk menangani perubahan iklim. [ detik.com  ]

(fdn/fdn)