Implementasi Jamsos di Indonesia Belum Ideal


JAKARTA - Sampai saat ini, kontruksi dan implementasi Jaminan Sosial (Jamsos) di Indonesia belum ideal. Bahkan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit berkelanjutan hingga beberapa tahun ke depan.
Persoalan yang sama, bisa saja dihadapi oleh BPJS Ketenagakerjaan jika iuran program pensiun tetap rendah atau penarikan manfaat program jaminan hari tua (JHT) tidak dikendalikan.
Demikian disampaikan praktisi jaminan sosial, Abdul Latif Algaff, kepada SP, Selasa (24/5) pagi. Untuk itu, Latif mengusulkan, agar adanya penguatan regulasi, penegakan hukum, peningkatan kapasitas organisasi dan kualitas pelayanan harus jadi concern pemerintah. “Karena sering program Jamsos tergelincir jadi program populis, sehingga tanpa sadar jadi beban fiskal di kemudian hari,” kata alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta ini.
Ia mengatakan, jaminan sosial merupakan tujuan sekaligus instrumen untuk mewujudkan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan beregara. Namun tentu saja hal itu tidak mudah dicapai.
Menurut Latif, kalau program Jamsos diterkelola dengan baik dan sustainable tidak hanya melindungi penduduk dari resiko sosial ekonomi yang terjadi tapi juga dapat berfungsi menjaga kemandirian dan penopang ekonomi nasional.
Program Jamsos di Tanah Air, kata dia, perlu terus didorong karena masih kecilnya cakupan kepesertaan. Sampai saat ini, peserta BPJS Kesehatan baru mencapai 60% orang sekitar 250 juta penduduk Indonesia. Sedangkan peserta BPJS Ketenagakerjaan tercatat masih 20 juta pekerja. Sedangkan jumlah angkatan kerja mencapai 128 juta, pekerja formal 48 juta dan pekerja informal 80 juta.


Siprianus Edi Hardum/EHD

 [ beritasatu.com ]